Bappeda Corpu #06 Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas sebagai Bagian dari Perwujudan Yogyakarta sebagai Kota Inklusif

Bappeda Kota Yogyakarta kembali mengadakan Corporate University (CORPU) pada hari Kamis, 23 Juni 2022 dengan judul Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas sebagai Bagian dari Perwujudan Yogyakarta sebagai Kota Inklusif. Pertemuan kali ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Bapak Muhammad Muslim S.Pt (Perencana Ahli Muda), Ibu Eni Kusrini, S.Si (Perencana Ahli Muda), dan Bapak Agus Salim, S.E., M.A (Perencana Ahli Muda), dan dimoderatori oleh Bapak Faris Imaddudin, S.E (Analis Sumber Daya Manusia Aparatur). Corpu ini dihadiri kurang lebih 65 peserta baik secara luring maupun daring.  

Bapak Muhammad Muslim, S.Pt menyampaikan materi terkait Pemenuhan Hak penyandang disabilitas sebagai bagian dari HAM: akomodasi yang layak bagi pekerja penyandang disabilitas. Dalam materinya disampaikan untuk mengoptimalisasi pemenuhan hak pekerja penyandang disabilitas diperlukan komitmen dan identifikasi kebutuhan kerja serta akses kesempatan kerja melalui penggalian potensi penyandang disabilitas, identifikasi data penyandang disabilitas, dan pengembangan potensi dan pemberdayaan, sehingga nantinya bisa diketahui program yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Selain itu, pentingnya akses dan fasilitas yang perlu disiapkan seperti pengembangan skill, modal serta jejaring yang dikemas dalam bentuk program pemberdayaan penyandang disabilitas, informasi kesempatan kerja atau penyediaan lapangan kerja khusus penyandang disabilitas, serta adanya perlindungan hukum bagi pekerja penyandang disabilitas.

Selanjutnya, materi kedua disampaikan oleh Ibu Eni Kusrini, S.Si terkait Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas pada Sektor Kesehatan dan Pendidikan. Dalam materinya disampaikan 22 hak penyandang disabilitas yang perlu diperhatikan pemenuhannya sesuai dengan Perda Kota Yogyakarta No. 4 tahun 2019 tentang Pemajuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas di bidang pendidikan dapat melalui UPT ULD. UPT ULD menjadi jawasan atas upaya pemenuhan hak pendidikan yang mendorong sekolah menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi (SPPI). Beberapa kegiatan UPT ULD yang sudah berjalan meliputi layanan harian di Klinik Konsultasi Psikologi yang menyediakan konsultasi psikologi, terapi, konsultasi pendidikan inklusi. Selain itu, layanan peningkatan kapasitas guru dan siswa di SPPI dengan melakukan kegiatan workshop kurikulum ABK, Workshop SPPI Kota, Diklat Vokasi Membatik, membuat kue bagi ABK yang bekerjasama dengan beberapa SMK di Kota Yogyakarta, Kunjungan tim psikolog ke sekolah, serta diklat dasar pendidikan inklusi yg bekerjasama dengan PLB.

Beberapa upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas di bidang kesehatan yaitu berkomitmen UHC (Universal Health Coverage), penyediaan aksesibilitas gedung dan ruang layanan pada fasilitas kesehatan, penyediaan jaminan kesehatan khusus melalui Bapel Jamkesos, dan pembagian jenis antrean khususnya untuk lansia dan disabilitas di Puskesmas. Isu pemenuhan kebutuhan untuk penyandang disabilitas ini untuk mendorong pencapaian SDG’s khususnya pada poin 3, Good health and well-being dengan menjamin kehidupan yang sehat, mendorong kehidupan yang baik di segala usia, dan poin 4 quality education dengan memastikan terselenggaranya pendidikan berkualitas yang inklusif dan setara serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hidup. 

Materi terakhir disampaikan oleh Bapak Agus Salim S.E., M.A yang membahas terkait upaya mewujudkan layanan publik terintegrasi bagi penyandang disabilitas. Beliau menjelaskan bahwa penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya disabilitas fisik, disabilitas intelektual, mental dan sensorik. Kondisi disabilitas ini dapat dialami seseorang sejak lahir atau disebabkan karena sakit/kecelakaan. Namun, kendala yang kerap terjadi saat ini adalah keluarga penyandang disabilitas yang cenderung menyembunyikan anggota keluarga yang menyandang disabilitas sehingga belum tentu teridentifikasi masuk dalam pendataan. Sehingga, kemungkinan jumlah penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta lebih banyak dari yang terdata.

Untuk itu, beberapa upaya yang dilakukan untuk mewujudkan layanan publik inklusif terintegrasi diantaranya dengan berkoordinasi dan mengadvokasi bekerjasama dengan seluruh kemantren di Kota Yogyakarta dalam bentuk Forum Kecamatan Inklusi yang terdapat di 14 kemantren, serta pembentukan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Penyusunan rencana induk dan rencana aksi penting dilakukan dengan melibatkan stakeholder pembangunan inklusif disabilitas. Beliau juga menyampaikan bahwa saat ini sudah dikembangkan Rumah Layanan Disabilitas yang pada mulanya merupakan usulan dari masyarakat. Rumah layanan disabilitas ini sebagai konektor dengan berbagai layanan khusus disabilitas, mulai dari pendidikan, kesehatan, bantuan hukum, hingga dalam perencanaan fasilitas penyandang disabilitas secara fisiknya.

Dari ketiga materi yang disampaikan oleh narasumber, disimpulkan bahwa dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mencapai Kota Inklusi harus dilakukan secara totalitas untuk kebutuhan difabel, lansia maupun gender dengan bekerjasama lintas sector. Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai Komite Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, serta panitia Ad Hoc. Komite ini pun dapat menjadi penghubung secara lintas intergovernmental dari Pemerintah Kota ke Pemerintah Provinsi DIY yang dapat memberikan masukan untuk mengambil kebijakan agar lebih efektif dan tepat sasaran.